Wajah
mana yang akan kita bawa menghadap Allah, kelak, jika lumuran dosanya
yang mengerak membuatnya tak rupawan lagi? Sedang hati kita pun tak lagi
bersih karena tertutup debu-debu maksiat. Juga pilihan sikap yang tepat
untuk menutupi pengingkaran nikmat kita siang malam, sepanjang usia
kita di dunia, di perjumpaan nanti. Atau kita malah mengharapkannya
tidak terjadi, hal yang mustahil adanya?
Adakah
malu, dan takut itu masih menempati sudut ruang hati kita, yang
terdalam? Ataukah ia telah menghilang, tenggelam dalam kelamnya
kesalahan yang menghitamkan jiwa karena jelaga dosa? Lirih ini sunyi
meski galau ini tak sendiri. Segera menyadari dan berbenah diri tentu
sangat terpuji daripada tak peduli, sebab kita tak bisa menghindari.
Permulaannya
bernama taubat. Gerbang pulang untuk pembebasan sejati yang menyucikan.
Meluruhkan noda-noda dosa yang pernah ada, dan memberi kemampuan kita
untuk tengadah mengaku salah. Inilah satu-satunya pilihan sebab menjadi
tanpa cela adalah kemustahilan, sedang tidak ada yang bisa menghapuskan
kecuali Dia Yang Maha Pengampun dan Penyayang.
Sayang, kita
seringkali merasa tidak membutuhkannya. Padahal tiada yang lebih penting
daripada keyakinan akan terhapusnya kesalahan, atau minimal,
berkurangnya beban jiwa yang menyiksa ini. Bahkan jauh sebelum menemui
Allah, karena rasa itu menekan malam-malam kita di sini, di dunia ini.
Pada
yang membutuhkan, banyak juga yang kebingungan. Taubat bergerak lambat
saat tak ada lagi pilihan berkelit. Terlantun dari bibir yang sendirian
serupa wasiat taubat dari hamba yang tidak memahaminya, meski bertebaran
dan berulang-ulang. Taubat yang tidak memiliki akar penjiwaan dan tak
mampu mengendalikan. Berakhir hampa karena menjadi sia-sia.
Karena
taubat haruslah berdasar pada kesadaran. Bahwa kita sebagai hamba tak
akan pernah mampu menjalankan kewajiban dan memenuhi hak Allah dengan
semestinya. Terlalu banyak kekurangan, terlalu sering kita melalaikan,
terlalu jauh dari standar kelayakan. Dan maksiat yang bertimbun-timbun,
membuahkan ketakutan akan akibat buruknya yang pasti menanti, menjauhkan
kita dari kehidupan yang berlimpah berkah, rahmah, dan maghfirah.
Kehidupan yang gelisah!
Kesemuanya menuntun kita pada keinginan
untuk menebus dan menghapus kesalahan. Agar kita tidak termasuk mereka
yang terancam kemurkaan dan kehinaan, serta siksaan abadi yang pasti
adanya. Sebab jika tidak, rasa sakitnya dosa menyesakkan dada.
Menyempitkan jiwa akan keluasan ampunan Allah, memungkinkan kita
melakukannya berulang kali hingga kepada keadaan rumit yang sulit
dilepaskan.
Biarkan rasa sakit itu membimbing kita mencari jalan
pertaubatan. Biarkan rasa sesal dan kecewa akan kegagalan memaknai
hari-hari ini menerangi prosesnya. Dan biarkan semuanya berangkat dari
kesadaran kita akan pentingnya taubat. Sebuah kebutuhan tak terkira yang
sering kita lupakan. Ya Allah, bimbinglah kepulangan hamba dengan
taubat yang Engkau terima![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar